PERKEMBANGAN PERINDUSTRIAN DI INDONESIA DARI TAHUN KE TAHUN
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Perkembangan industri di Indonesia sekarang ini berlangsung sangat pesat seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Proses industrialisasi masyarakat Indonesia makin cepat dengan berdirinya perusahaan dan tempat kerja yang beraneka ragam.
Perkembangan yang di alami tidak hanya peningkatan, tetapi juga terjadi penurunan. Sehingga dari tahun ke tahun perindustrian di Indonesia mengalami peningkatan dan penurunan.
Baik dari sektor pertanian, kerajinan tangan, makanan, properti, dan lain sebagainya setiap tahun mengalami peningkatan dan penurunan. Seperti industri biji kopi yang sedang mengalami penurunan.
Dan saat ini banyak bermunculan industri-industri kecil di Indonesia yang bertujuan untuk menopang perekonomian keluarga yang semakin memburuk. Biasanya usaha rumahan seperti makanan, baju, batik, dll.
I.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini yaitu untuk mengetahui perkembangan perindustrian Indonesia di beberapa sektor. Mengetahui peningkatan dan penurunan industri indonesia dari tahun ke tahun.
BAB II
TINJAUAN LITERATUR
II.1 Perkembangan Industri di Sektor Pertanian
Sektor pertanian dalam tiga dekade cenderung mengalami penurunan. Tahun 1980 sekitar 24,8% , tahun 1990 sekitar 19,41% , tahun 2000 sekitar 15,6% , tahun 2004 sekitar 15,39%. Nilai sektornya meningkat setidaknya untuk beberapa tahun terakhir, tahun 1990 sekitar Rp 53.056 triliun, tahun 1999 sekitar Rp 66.209 triliun, tahun 2004 sekitar Rp 252.293 triliun.
Salah satu komoditas pertanian utama di Indonesia adalah kopi yang telah memberikan kontribusi pendapatan ekspor negara. Pada 13 tahun terakhir, nilai ekspor cenderung menurun dari US$ 697 juta pada tahun 1994, US$ 369 juta pada tahun 1999, US$ 319 juta pada tahun 2000, dan menjadi US$ 251 juta pada tahun 2003. Penurunan ini disebabkan oleh relatif rendahnya tingkat produksi.
Pada pasar dunia, Indonesia merupakan produsen kopi biji terbesar ke empat di dunia setelah Brazil, Colombia, dan Vietnam. Menurut International Coffee Organization (2006), Indonesia dilaporkan menghasilkan kopi biji 6.750 bags (6,25% dari produksi dunia). Sementara tingkat produksi kopi biji Brazil 32.994 bags (30,49%), Colombia 11.550 bags (10,69%), dan Vietnam 11.000 bags (10,18%).
Industri kopi biji Indonesia secara dominan dipengaruhi oleh kinerja pasar dunia. Perkembangan harga dan supply kopi biji dunia menunjukkan bahwa harga pasar dunia akan tertekan dan fluktuatif pada tahun-tahun mendatang karena kecenderungan peningkatan supply. Karena kinerja pasar domestik tidak terinsulasi dari ketidakstabilan pada harga dunia, perkembangan di pasar dunia akan tertransmisikan ke pasar domestik. Akibatnya, kecenderungan penurunan harga dunia akan menyebabkan penurunan harga kopi biji di pasar domestik.
Penelitian mengenai industri kopi biji
Penelitian menggunakan model Goal Programming (GP) untuk menentukan set prioritas pengembangan industri kopi biji. GP merupakan aplikasi khusus dari Linear Progamming (LP) yang dikembangkan oleh Charnes dan Coopers pada 1961 dan Lee dan Ignazio pada 1970-an. Teknik ini merupakan salah satu teknik dalam mathematical programming yang tidak bekerja atas dasar “optimasi” tetapi “pemuasan” tujuan. Secara umum, aplikasi ini dalam dunia nyata lebih cocok karena pada kenyataannya seringkali pengembangan suatu aktivitas ekonomi tidak didasarkan pada satu tujuan lebih dari satu tujuan.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan eksperimentasi. Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan perubahan urutan prioritas pengembangan industri kopi biji di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berkaitan dengan jumlah areal tanaman kopi, tingkat produktivitas kopi, kebijakan pengembangan industri kopi yang ditetapkan pemerintah, dan lain-lain. Data ini diperoleh dari berbagai sumber, seperti Departemen Pertanian.
II.2 Perkembangan Industri di Sektor Kerajinan
Batik merupakan salah satu produk unggulan yang dimiliki setiap kabupaten dan kota di Jawa Tengah, yang banyak dikelola UKM. Batik telah dikenal sejak abad XVII, dan pada tahun 2009 telah mendapat pengakuan dari badan PBB yaitu UNESCO sebagai World Heritage. Pengakuan batik tulis ini akan menambah nilai tambah bagi pengembangan batik demikian halnya dengan batik Semarang. Namun usaha batik di kota Semarang saat ini hampir punah. Selain hilangnya seni budaya yang dimiliki juga lepasnya kesempatan meraih keuntungan dari maraknya bisnis batik yang saat ini mulai laku keras. Saat ini kota Semarang baru memiliki 67 usaha batik.
Perusahaan kecil dimana manajemen dikelola sendiri oleh pemiliknya, laba mendominasi keputusan hampir seluruh perusahaan. Tidak seperti halnya pada industri besar, manajer mungkin akan lebih memperhatikan pada tujuan penerimaan untuk mencapai pertumbuhan atau memuaskan laba. Demikian halnya seperti pada kegiatan berproduksi bagi usaha kecil, tujuan usaha kecil batik adalah memaksimalkan keuntungan usaha.
Berdasarkan prasurvey terhadap perajin batik di Semarang, pada umumnya mengalami kesulitan dalam memaksimalkan produktivitas. Kesulitan tersebut dikarenakan kurangnya tenaga kerja yang memiliki seni membatik, kurangnya permodalan untuk mengembangkan bahkan untuk membuka usaha batik.
II.3 Perkembangan Industri di Sektor Properti
Hasil studi PSPI (Pusat Studi Properti Indonesia) menunjukkan bahwa terjadi pola hubungan yang menarik antara suku bunga, bisnis perumahan dan GDP. Penurunan tingkat suku bunga dari titik tertinggi selalu mendahului penigkatan angka penjualan rumah selama enam hingga dua belas bulan sebelumnya. Demikian pula, ketika tingkat suku bunga berada pada titik tertinggi dalam sebuah siklus, angka penjualan rumah selalu berada di titik terendah.
Business Cycle
Gooding dan O’malley (1977), Krueger dan Johnson (1990) dan Wiggens (1992) mendefinisikan business cycle sebagai up market dan down stream yang menunjukkan pada suatu kegiatan berulang.
Rasio Keuangan
Barnes (1986) mengidentifikasikan aplikasi rasio keuangan menjadi dua yaitu rasio keuangan normatif dan rasio keuangan positif. Dalam analisis rasio praktis, rasio keuangan perusahaan dibandingkan dengan target industri. Ini berarti bahwa target optimal dianggap ada. Deviasi dari norma-norma dan proses penilaian dari rasio perusahaan terhadap target dianggap paling baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis.
Ukuran Efisiensi
Efisiensi diartikan sebagai rasio (perbandingan) antara masukan dan keluaran. Dengan masukan tertentu memperoleh keluaran yang optimal atau dengan masukan yang optimal memperoleh keluaran tertentu merupakan indikator efisiensi
Klasifikasi Rasio Keuangan
Rasio keuangan dapat diklasifikasikan menjadi empat (Salmi & Martikainen, 1994: 426 – 448) yaitu: pragmatical empiricism, pendekatan klasifikasi berorientasi data (pendekatan induktif), pendekatan deduktif dan akhir-akhir ini timbul kombinasi antara pendekatan klasifikasi data (pendekatan induktif) dan pendekatan deduktif.
Pragmatical Empiricism (terminologi yang digunakan oleh Horrigan, 1968), Klasifikasi rasio keuangan ini dilakukan secara subyektif berdasarkan pada pengalaman praktis. Pada umumnya, klasifikasi dan rasio keuangan pada kategori berbeda akan menghasilkan perbedaan antar penulis sebagaimana ditunjukkan dalam tabulasi yang disusun oleh Courtis (1978; 376). Dalam pengertian yang sangat umum, rasio keuangan dibagi menjadi tiga ketegori terdiri dari: profitabilitas, solvabilitas jangka panjang (struktur modal) dan solvabilitas jangka pendek (likuiditas). Di luar ketiga kategori tersebut merupakan konsensus yang tidak jelas.
II.4 Perkembangan Industri di Sektor Makanan
Keterpurukan ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, membuat munculnya usaha-usaha kecil yang bertujuan menopang perekonomian keluarga yang memburuk.
Usaha kecil yang mulai berkembang banyak yang didasari dari falsafah family business (bisnis keluarga). Potret mengenai usaha kecil yang pendiriannya berdasarkan bisnis keluarga ini terdapat di industri kerupuk di daerah Tuntang Kabupaten Semarang. Dimana industri tersebut dipimpin oleh ayah dan anggota keluarga lainnya membantu dalam pengelolaan dan proses produksinya.
Fenomena yang menarik dari industri kecil di atas adalah keterlibatan istri dalam mengembangkan usaha mereka. Antara suami dan istri saling bekerjasama di dalam pengelolaan usaha sehingga berkembang cukup baik.
Dari hal di atas, perempuan mulai menunjukkan peran dalam perekonomian keluarga karena mereka bukan hanya dituntut untuk menjadi ibu rumah tangga tetapi juga harus membantu perekonomian keluarga.
Motivasi merupakan salah satu hal yang menarik untuk dilihat dari karakteristik seorang women co-entrepreneur di pengusaha kerupuk desa Tuntang ini. Motivasi utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Motivasi yang kedua adalah ikut-ikutan para tetangga.
Kinerja Industri Makanan di Indonesia dan Malaysia Menghadapi Tantangan Globalisasi
Industri makanan merupakan industri yang penting dalam pembangunan industri di Malaysia dan Indonesia. Industri ini telah menyumbang secara signifikan kepada pembangunan ekonomi dalam aspek, produksi, penyerapan tenaga kerja dan ekspor.
Kebanyakan industri pemrosesan makanan adalah industri berskala kecil. Sebagai industri berskala kecil, industri pemrosesan makanan terpaksa menghadapi berbagai tantangan untuk berdaya saing di era globalisasi.
Industri makanan di Malaysia dan Indonesia terus berkembang dari tahun ke tahun. Rata-rata pertumbuhan industri makanan di Malaysia sebesar 3,7%. Industri ini juga merupakan 10% dari jumlah industri dan telah menyumbang sebanyak 298.9 ribu orang tenaga kerja. Industri makanan di Indonesia juga terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 pencapaian industri ini sebesar 3,66% yaitu melebihi target sebanyak 3,4%.
Di Malaysia 79,1% perusahaan industri makanan berskala kecil dan 18,5% berskala menengah. Persentase perusahaan berskala besar hanya 2,4%. Industri makanan di Malaysia hanya berupaya mengekspor 23% dari produksinya.
II.5 Perkembangan Industri di Sektor Gas Bumi
Gas bumi Indonesia hingga saat ini lebih banyak dimanfaatkan untuk ekspor, meskipun kebutuhan untuk memanfaatkannya di dalam negeri terus meningkat. UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi berpotensi mengubah banyak hal mengenai pengelolaan industri minyak dan gas bumi. UU ini dimaksudkan untuk menciptakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang mandiri, transparan, berdaya saing, berwawasan pelestarian lingkungan, serta mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional.
Di Indonesia, produksi gas dilakukan wilayah-wilayah utama Kalimantan Timur dan Aceh. Gas juga diproduksi di lapangan-lapangan yang lebih kecil di Jawa Barat dan Jawa Timur, dan melalui jalur pipa dikirimkan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar/bahan baku pembangkitan listrik, industri dan gas kota di Jawa. Pada awal pengembangannya pada periode 1980-an, gas bumi Indonesia lebih banyak digunakan untuk ekspor dalam bentuk LNG, dengan tujuan Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Peningkatan penggunaan gas bumi di dalam negeri terjadi karena peningkatan permintaan gas bumi oleh pembangkit tenaga listrik, industri dan PT. PGN.
Di Indonesia, pengusaha gas bumi masih didominasi oleh perusahaan minyak dan gas milik negara (Pertamina) yang melakukan usahanya secara terintegrasi vertikal dari ujung sisi hulu hingga hilir, terutama untuk minyak bumi.
Pengembangan industri hilir gas bumi di beberapa negara:
- Amerika Serikat
Struktur industri gas bumi AS mengalami perubahan yang sangat besar dalam kurun 2 dasa warsa terakhir ini. Sebelum deregulasi dan penerapan kebijakan pipeline unbundling, struktur industri gas bumi AS sangat sederhana, kurang lentur dan hanya memiliki sedikit alternatif untuk menyalurkan gas. Struktur itu terdiri dari produsen, jalur pipa antarnegara bagian (interstate pipeline), perusahaan distribusi setempat (local distribution company: LDC) dan konsumen (end users). Gambar 6 mengilustrasikan struktur industri gas bumi AS sebelum deregulasi.
Sekarang industri gas bumi AS telah berubah secara drastis menjadi lebih terbuka bagi kompetisi dan pilihan. Harga wellhead tidak diatur lagi, tergantung dari interaksi antara penyediaan dan permintaan. Interstate pipelines bukan lagi pemilik komoditi gas bumi, tapi hanyalah pemilik pipa tranportasi gas, yang memberikan jasa pengangkutan dan tarif pengangkutannya diatur oleh FERC (Federal Energy Regulatory Committee). Konsumen sekarang dapat membeli gas dari perusahaan distribusi setempat (LDC), pemasar (marketer) atau langsung dari produsen gas. Sementara itu, perusahaan distribusi setempat tetap membuka bundled products pada konsumen, sedangkan di beberapa negara bagian terdapat retail unbundling yang mengizinkan penggunaan jaringan distribusi mereka untuk transportasi gas.
Salah satu perbedaan utama dari sruktur industri gas bumi di AS yang berlaku sekarang dengan yang diterapkan sebelumnya adalah muncul dan berkembangnya peran “pemasar” (marketer) gas. Marketer ini memfasilitasi pergerakan gas bumi dari produsen ke konsumen dan dapat bertindak sebagai perantara antar pihak-pihak yang saling membutuhkan, misalnya untuk melakukan kontrak transportasi dan pemakaian depot. Marketer dapat pula memiliki gas yang akan di transportasikan. Gambar 7 memperlihatkan secara sederhana struktur industri gas yang diterapkan di AS sekarang setelah deregulasi wellhead prices dan pipeline unbundling.
- Inggris
Dalam 10 tahun terakhir, industri gas bumi di Inggris mengalami perubahan struktur dan regulasi yang cukup besar. Deregulasi telah membuka peluang kompetisi dalam penyediaan gas untuk konsumen besar/menengah dan mengembangkan perusahaan pemasok serta perdagangan gas independen. Seperti di AS, setelah deregulasi, Inggris mengalami peningkatan konsumsi gas dan penurunan harga gas.
- Argentina
Beberapa kunci keberhasilan restrukturisasi tersebut adalah penciptaan lingkungan bisnis dan investasi yang menarik, pembagian yang tegas antara fungsi pemasokan, transportasi dan perdagangan gas bumi, transparasi dalam penentuan tarif dan kondisi pengangkutan, jaminan pengembalian hasil (rate of return) bagi investor yang melakukan usaha, khususnya di bidang pengangkutan gas, serta tugas dan tanggungjawab yang jelas dari Badan Pengatur disertai kemampuan organisasi dan personalia yang kuat (IEA, 1999).
- Eropa Barat dan Jepang
II.6 Perkembangan Industri Gula
Produksi gula nasional semakin menurun selama beberapa tahun terakhir. Produksi gula nasional pernah meningkat relatif cepat dalam periode 1980-an, akan tetapi lambat sekali dalam periode awal 1990-an, dan setelah tahun 1994 produksi gula nasional terus menurun. Peningkatan produksi gula adalah disebabkan oleh perluasan areal tanaman tebu, bukan disebabkan oleh peningkatan produktivitas (Sekretariat Dewan Gula, 2001).
Menurut Statistik Impor, Badan Pusat Statistik 2000, pasokan gula dunia akan semakin terbatas pada sejumlah kecil negara. Kondisi ini dapat menjadi rawan bila ketergantungan impor gula Indonesia dalam jumlah besar. Kecenderungan ini hendaknya dapat menstimulir untuk meningkatkan produksi gula nasional melalui upaya perbaikan produktivitas dan efisiensi dengan sasaran kemandirian dan peningkatan daya saing industri gula nasional dengan prioritas utama pemenuhan kebutuhan gula di dalam negeri.
Gula impor legal dan ilegal yang masuk ke pasar telah menekan harga gula produksi dalam negeri. Situasi demikian akan membawa industri gula pada situasi krisis karena pabrik gula mengalami kesulitan pasokan tebu. Sebanyak 44 pabrik gula di Indonesia terancam bangkrut. Pemicu rendahnya suplai bahan baku ini karena petani tertarik menanam tebu akibat merosotnya nilai ekonomisnya (Harian Kompas, 14 September 2002).
Selain faktor produktivitas, pengembangan tebu di lahan kering yang semakin meluas memunculkan masalah baru seperti meningkatnya biaya pengangkutan tebu ke pabrik, melemahnya lingkup kendali (span of control) dan skala ekonomi (PSE dan P3GI, 1996). Kesemuanya ini akan memperlemah keunggulan komparatif pengembangan tebu di lahan tegalan yang akhirnya akan memberikan dampak secara agregat.
Dengan demikian impor gula menguras devisa negara cukup besar, dan diperkirakan akan semakin memberatkan perekonomian nasional dalam kondisi rupiah yang mengalami depresiasi yang cukup tinggi sekarang ini. Menurut Statistik Impor, Badan Pusat Statistik, pasokan gula dunia akan semakin terbatas pada sejumlah kecil negara. Kondisi ini bisa menjadi rawan bila ketergantungan impor gula Indonesia dalam jumlah yang besar. Kecenderungan ini hendaknya dapat menstimulir untuk meningkatkan produksi gula nasional melalui upaya perbaikan produktivitas dan efisiensi dengan sasaran kemandirian dan peningkatan daya saing industri gula nasional dengan prioritas utama pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.
II.7 Peranan Sektor Tembakau dan Industri Rokok
Komoditas tembakau dan produk-produk turunannya mempunyai nilai ekonomi tinggi serta merupakan sumber pendapatan petani, penerimaan pemerintah dari dalam negeri dan kesempatan kerja. Namun, kehadiran produk-produk tembakau, terutama rokok, mulai ditentang oleh masyarakat karena dinilai mengganggu kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
Harga tembakau di pasar dunia cenderung menurun selama 8 tahun terakhir (1997-2004) dengan rata-rata 2,34 %/tahun, padahal pada periode sebelumnya masih meningkat 3,10%/tahun selama 1961-1986 dan 1,96%/tahun selama 1986-1997. Menurunnya harga tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh terjadinya kelebihan produksi karena menurunnya permintaan.
Di Indonesia, ada lima kelompok industri pengolahan hasil tembakau, yaitu: (1) industri pengeringan dan pengolahan tembakau dan bumbu rokok, (2) industri rokok kretek, (3) industri rokok putih, (4) industri rokok lainnya (cerutu,kelembak/menyan), (5) industri hasil lainnya dari tembakau, bumbu rokok, dan klobot/kawung. Selama periode 2000-2004 telah terjadi perkembangan pada kelima jenis industri tersebut yang menyangkut jumlah perusahaan, nilai produksi, dan penggunaan tenaga kerja.
Produksi tembakau selama 7 tahun terakhir (2000-2006) menurun rata-rata 5,98 % per tahun karena menurunnya luas areal sebesar 6,37% per tahun. Penururnan ini disebabkan oleh berkurangnya dukungan pemerintah terhadap pengembangan pertanian tembakau.
Sektor tembakau dan sektor industri rokok memberikan sumbangan sekitar 7% terhadap penerimaan negara dari dalam negeri. Namun, dari segi perdagangan internasional, lebih banyak menguras daripada menghasilkan devisa negara.
II.8 Peranan Industri Perkebunan dalam Pertumbuhan Ekonomi
Krisis ekonomi yang dihadapi Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah memporak-porandakan sebagian besar sektor yang sebelumnya sangat diunggulkan sebagai motor penggerak perekonomian Indonesia. Sebagai akibatnya, krisis tersebut telah menimbulkan tiga masalah mendasar. Pertama, krisis tersebut telah membuat perekonomian Indonesia sempat mengalami kontraksi sebesar 13,2% pada tahun 1998 dan diikuti oleh pertumbuhan ekonomi yang lambat. Kedua, sebagai akibat kontraksi dan pertumbuhan lambat tersebut, jumlah pengangguran terus meningkat dan pada tahun 2002 diperkirakan telah mencapai 9,1 juta orang. Selanjutnya, jumlah setengah penganggur dan penganggur terbuka diperkirakan mencapai 39,0 juta orang. Ketiga, krisis tersebut telah membuat semakin memburuknya aspek distribusi atau pemerataan. Situasi tersendatnya pertumbuhan ekonomi, jumlah pengangguran yang masih besar, serta kondisi distribusi pendapatan yang timpang masih mewarnai perekonomian Indonesia untuk beberapa tahun ke depan.
Pengembangan subsektor perkebunan merupakan salah satu pilihan yang cukup realistis dengan tiga alasan utama. Pertama, bisnis perkebunan adalah bisnis yang mempunyai daya tahan tinggi dalam arti tahan terhadap berbagai terpaan krisis, baik yang bersumber dari fakor domestik maupun internasional. Kedua, bisnis perkebunan diyakini masih sangat prospektif seperti ditunjukkan oleh peluang pasar produk perkebunan masih terbuka pada dekade mendatang dengan laju 2-5% per tahun. Ketiga, bisnis perkebunan merupakan bisnis yang relatif intensif menggunakan tenaga kerja, khususnya tenaga kerja yang berlokasi di pedesaan. Dengan karakteristik tersebut, bisnis perkebunan diharapkan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak, sekaligus memperbaiki ketimpangan distribusi pendapatan yang kini tengah dihadapi.
II.9 PENGUATAN EKONOMI INDUSTRI KECIL DAN
MENENGAH MELALUI PLATFORM KLASTER INDUSTRI
Globalisasi merupakan suatu fenomena yang mendorong perusahaan di tingkat mikro ekonomi untuk meningkatkan efisiensi agar mampu bersaing di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Dengan globalisasi yang menyatukan pasar dan kompetisi investasi internasional meningkatkan tantangan sekaligus peluang bagi semua perusahaan baik kecil, menengah maupun besar. Untuk menghadapai globalisasi maka diperlukan daya saing yang kuat. Daya saing merupakan kemampuan perusahaan, industri, daerah, negara, atau antar daerah untuk menghasilkan faktor pendapatan dan faktor pekerjaan yang relatif tinggi dan berkesinambungan untuk menghadapi persaingan internasional. Daya saing industri merupakan fenomena di tingkat mikro perusahaan sehingga kebijakan pembangunan industri nasional harus didahului dengan mengkaji sektor industri secara utuh sebagai dasar pengukurannya.
Industri kecil dan menengah atau yang sering disebut IKM merupakan salah satu tumpuan utama pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja baru terutama setelah krisis ekonomi yang terjadi beberapa tahun yang lalu. IKM juga bagian penting dari perekonomian suatu negara termasuk Indonesia. Sebagai gambaran, walaupun sumbangan sektor IKM dalam output nasional (PDRB) tahun 2000 hanya 56,7 persen dan dalam ekspor non migas hanya 15 persen pada tahun 2000, namun IKM memberikan kontribusi sebanyak 99 persen dalam jumlah badan usaha di Indonesia serta memiliki andil sebayak 99,6 persen dalam penyerapan tenaga kerja. Namun kenyataannya selama ini keberadaan IKM kurang mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah.
Ada tiga alasan mengapa keberadaan IKM sangat diperlukan (Berry, Rodriquez & Sandeem, 2001), pertama, kinerja IKM cenderung lebih baik dalam menghasilkan tenaga kerja yang produktif. Kedua, IKM sering meningkatkan produktivitasnya melalui investasi dan aktif mengikuti perubahan teknologi. Ketiga, IKM diyakini memiliki keunggulan dalam fleksibilitas dibandingkan usaha besar.
Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 ternyata telah membuka cakrawala bangsa Indonesia tentang rapuhnya sistem ekonomi yang dibangun hanya dengan segelintir konglomerasi. Sebelum terjadinya krisis ekonomi, pada masa orde baru perekonomian Indonesia dikuasai oleh 0,1 persen perusahaan besar dan hanya menyerap 2 persen dari seluruh angkatan kerja. Sementara itu kinerja IKM yang mampu menampung 95 persen angkatan kerja atau kurang lebih 110 juta orang ternyata hanya menguasai sedikit sumber daya (Brata, 2003). Krisis ekonomi juga menyebabkan penurunan pertumbuhan PDRB riil Indonesia. Hal ini terlihat pada pertumbuhan PDRB menurun drastis dibawah angka 0 atau pertumbuhannya negatip. Dengan kata lain bisa disimpulkan bahwa perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap guncangan yang terjadi dalam perekonomian.
Sektor industri saat ini merupakan sektor utama dalam perekonomian Indonesia. Hal itu karena sektor ini merupakan penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB Indonesia selama sepuluh tahun terakhir. Misalnya pada tahun 2002, sektor industri pengolahan diperkirakan mencapai lebih dari seperempat atau 25,01 persen komponen pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), sementara sektor pertanian hanya menyumbang sekitar 17,47 persen. Pertumbuhan sektor industri juga mengalami berbagai macam kendala sehingga kurang optimal. Kendala-kendala tersebut menyebabkan melemahnya daya saing yang dimiliki oleh industri sehingga menjadi kurang kompetitif.
II.10 Industri Kecil menuju Era Perdagangan Bebas
Isu perdagangan bebas ramai dibicarakan semenjak adanya persetujuan putaran Uruguay dalam GATT (General Agreement on Tariff and Trade) tanggal 15 Desember 1993 di Geneva & terbentuknya WTO (World Trade Organisation) di Maroko tahun 1994.
Dengan adanya perdagangan bebas, usaha kecil di Indonesia harus tetap dapat menjadi salah satu pelaku penting sebagai pencipta pasar di dalam maupun di luar negeri dan sebagai salah satu sumber penting bagi surplus neraca perdagangan. Namun, untuk melaksanakan peranan ini, usaha kecil Indonesia harus membenahi diri, yakni meningkatkan daya saing global.
Data di Departemen Koperasi menunjukan adanya 38 juta usaha di Indonesia yang 98% di dominasi oleh usaha kecil menengah yang mempekerjakan 58 juta pekerja. Dalam dunia industri ternyata di dominasi oleh industri kecil dan rumah tangga sekitar 2,7 juta industri (dengan 6 juta-an pekerja), sedangkan industri besar dan menengah hanya berjumlah 23.000 buah (dengan 4 juta pekerja).
Memang industri rumah dan kecil ini hanya memutarkan 10% dari total uang yang berputar tetapi menghidupi sebagian besar rakyat kecil yang ada di Indonesia. Pemberdayaan usaha dan industri kecil dan rumah tangga akan menjadi kunci bagi kelangsungan hidup sebagian besar rakyat Indonesia.
Terhitung sejak 1 Januari 2010, Indonesia memasuki sebuah era baru perdagangan bebas yang telah disepakati bersama Cina dan negara-negara Asia Tenggara dalam sebuah pakta perjanjian bernama ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Dengan perjanjian tersebut, semua negara yang terlibat di dalamnya diharuskan membuka pasar dalam negeri dan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi negara lain untuk memasarkan produk-produknya melalui pembebasan bea masuk dan kemudahan regulasi lain.
Pemberlakuan perdagangan bebas dinilai oleh banyak pelaku usaha di Indonesia, baik skala besar, menengah, dan kecil, sebagai sebuah tamparan bagi keberlangsungan usaha mereka. Jika sebelumnya para pelaku usaha itu sudah bersaing mati-matian dengan serbuan produk dari Cina, kini mereka musti berjuang lebih keras lagi untuk bersaing dengan produk-produk dari Singapura, Thailand, Filipina dan negara-negara lain.
Harus diakui bahwa Indonesia masih memiliki banyak kelemahan pada sektor perindustrian yang perlu segera dibenahi. Beberapa indikator yang paling kentara adalah infrastruktur dan prasarana objektif lain yang belum memadai, tingginya biaya ekonomi dan kandungan impor serta penguasaan teknologi yang lemah. Kesemua poin minus tersebut kian menambah pesimisme dalam hal kesiapan Indonesia menghadapi era pasar bebas yang kini diberlakukan. Ditambah lagi dengan belum tuntasnya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah, seperti langkah efisiensi ekonomi agar dapat menciptakan produk dalam negeri yang lebih kompetitif, efisiensi birokrasi, perbaikan infrastruktur, penurunan suku bunga dan penciptaan iklim investasi yang kondusif.
Terlebih bagi industri skala kecil dan menengah yang selama ini masih saja berkutat dengan bermacam kendala klasik yang belum juga terselesaikan, sudah pasti merasa cemas dengan keberadaan pasar bebas. Alih-alih melihat era pasar bebas sebagai tantangan (opportunity), mayoritas pelaku industri kecil dan menengah menganggapnya sebagai ancaman (threat). Apalagi dalam ACFTA tidak terdapat klausul perkecualian untuk sektor tertentu, artinya perjanjian ini mencakup semua sektor barang dan jasa tanpa kecuali.
Penguatan Sektor Industri Kecil dan Menengah (IKM)
Hingga kini, para pelaku IKM di Indonesia masih menjumpai banyak permasalahan umum yang mengemuka, terutama dalam aspek marketing, produksi, sumber daya manusia, permodalan, kelembagaan dan networking. Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan permasalahan multisektoral, artinya tidak semata menjadi salah satu institusi pemerintah saja, melainkan melibatkan banyak pihak agar upaya penguatan IKM dapat mencapai hasil yang diharapkan. Jadi, tidak bisa kemudian tanggung jawab penguatan IKM hanya ditimpakan pada dinas yang membidangi perindustrian dan perdagangan semata, tetapi perlu koordinasi yang bagus dan terencana antara dinas yang membidangi koperasi, tenaga kerja hingga dunia perbankan untuk lebih mendorong pertumbuahan sektor IKM agar lebih laju.
Salah satu strategi yang bisa diterapkan oleh sektor IKM adalah menghindari persaingan frontal dengan produk Cina. Artinya, pelaku IKM saat ini dituntut untuk berpikir lebih taktis dengan lebih jeli memilih segmentasi, target dan positioning produk. Produk-produk konsumsi dari Cina memiliki keunggulan dalam segi harga yang terjangkau karena struktur industri disana memungkinkan untuk melakukan produksi massal dan mempersingkat rantai pasok (supply-chain), akan tetapi telah menjadi rahasia umum produk-produk Cina lemah dalam segi kualitas produk.
II.11 PERKEMBANGAN INDUSTRI DAN KEBIJAKAN INDUSTRIALISASI DI INDONESIA SEJAK ORDE BARU HINGGA PASCA KRISIS
Sebagai akibat dari ketidakstabilan politik di dalam negeri (termasuk beberapa pemberontakan yang terjadi berturut-turut selama periode 1945-1965) dan pengelolaan ekonomi yang jelek oleh Presiden Soekarno, dua dekade pertama dari pembangunan ekonomi Indonesia sejak kemerdekaan tahun 1945 menciptakan kondisi ekonomi dan sosial di dalam negeri yang sangat buruk. Sejak tahun 1950, produksi dan investasi di dalam negeri mengalami stagnasi, atau bahkan menurun drastis dibandingkan pada masa sebelum kemerdekaan, dan pendapatan riil per kapita pada tahun 1966 dibawah tingkat tahun 1938 (Booth dan McCawley, 1981). Pada awal pemerintahan Orde Baru di tahun 1966 yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, rata-rata orang Indonesia berpenghasilan hanya sekitar 50 dollar Amerika Serikat (AS) per tahun; sekitar 60 persen dari anak-anak Indonesia tidak dapat membaca dan menulis; dan mendekati 65 persen dari jumlah populasi di Indonesia hidup dalam kemiskinan absolut.
Menghadapi kondisi yang sangat buruk ini, pada tahun-tahun awal era Orde Baru, tiga langkah penting langsung dilakukan oleh pemerintah, yakni stabilitas, rehabilisasi dan rekonstruksi ekonomi (Chalmers, 1997). Selain tiga langkah tersebut, pemerintah juga membuat rencana pembangunan lima tahun (Repelita) yang dilaksanakan secara bertahap, dimulai tahun 1969 dengan Repelita Pertama, dan membuat sejumlah kebijakan reformasi ekonomi yang krusial pada dekade 70-an dan 80-an, termasuk liberalisasi dalam investasi, neraca modal, perbankan, dan perdagangan eksternal. Berbeda dengan periode Orde Lama, pada era Orde Baru, industri merupakan sektor prioritas utama. Untuk mendukung pembangunan industri nasional, pemerintah menganut dua strategi industrialisasi yang berbeda yang dijalankan secara berturut-turut, yakni diawali dengan substitusi impor dengan penekanan pada industri-industri padat karya seperti tekstil dan produk-produknya, seperti pakaian jadi (TPT), alas kaki, produk-produk dari kayu (khususnya kayu lapis), dan makanan serta minuman, dan dilanjutkan belakangan dengan pembangunan industri-industri perakitan otomotif, dan kemudian pada awal dekade 80-an bergeser secara bertahap ke promosi ekspor. Strategi kedua ini terfokus pada pengembangan industri-industri padat karya yang berorientasi ekspor.
Pada tahun 1999 ekonomi Indonesia mulai pulih kembali (walaupun prosesnya relatif lambat dibandingkan negara-negara lain yang juga terkena krisis, seperti misalnya Korea Selatan yang dalam satu tahun sudah bisa bangkit kembali sepenuhnya) dan dalam beberapa tahun belakangan ini, Indonesia kembali mencapai suatu derajad yang sehat dari stabilitas ekonomi makro; walaupun pada tahun 2005 laju pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 5,5 persen, yang lebih rendah daripada harapan/perkiraan pada saat itu yakni 6,5 persen. Pengurangan subsidi pemerintah untuk bahan bakar minyak (BBM) pada bulan Oktober 2005 sebagai suatu konsukwensi logis dari meroketnya harga BBM di pasar dunia yang sampai mencapai lebih dari 50 dollar AS per barrel mengakibatkan harga BBM di dalam negeri meningkat lebih dari 100 persen. Hal ini memicu kenaikan inflasi domestik yang tinggi. Juga sebagai suatu efek pengganda dari pemotongan subsidi BBM tersebut, diperkirakan pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih kecil dari 6 persen.
Tidak hanya karena pertumbuhan ekonominya yang pesat yang bisa berlangsung terus dalam suatu jangka waktu yang lama, tetapi juga karena pembangunan industrinya yang sangat pesat, Indonesia sempat masuk di dalam kelompok negara-negara Asia Tenggara dan Timur yang dijuluki “East Asian economic miracle.” (Hill, 1996). Bahkan di dalam kelompok ini yang termasuk Hong Kong, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Taiwan, Thailand dan Singapura, kemajuan ekonomi Indonesia pada saat itu dianggap sangat impresif terutama untuk pencapaian dalam pembangunan sektor industrinya. Juga, Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara penghasil minyak lainnya yang tergabung dalam negara-negara pengekspor minyak (Organisation of Petroleum Exporting Countries/OPEC) untuk kemajuan sektor industri manufakturnya. Bahkan selama periode 1980-an dan 1990-an, Indonesia sempat menjadi salah satu pemain kunci dalam sejumlah industri, dari minyak kelapa sawit ke TPT hingga elektornik (USAID dan SENADA, 2006). Jadi, dapat dikatakan bahwa perkembangan dan pertumbuhan output industri manufaktur yang pesat merupakan karakteristik utama dari ekonomi Indonesia selama era Orde Baru.
Sebelum era Orde Baru (1966), ekonomi Indonesia masuk ke dalam suatu periode stagnasi yakni pada saat mana praktis tidak ada pertumbuhan PDB dan output industri yang berarti yang dikombinasikan dengan meroketnya inflasi dan menurunnya pendapatan per kapita. Setelah Orde Lama diganti dengan Orde Baru, PDB mulai menunjukkan pertumbuhan yang pada awalnya hanya sekitar 5 persen rata-rata per tahun hingga jatuhnya harga minyak di pasar dunia pada tahun 1982, setelah itu mulai meningkat yang mencapai rata-rata 7 persen per tahun hingga 1997.
Pada awal Orde Baru, industri manufaktur relatif lambat berkembang. Misalnya, berdasarkan data BPS, nilai produksi industri manufaktur tahun 1969 tercatat hanya 1,42 miliar dollar AS. Salah satu faktor penghambat yang terpenting adalah devisa negara yang terbatas. Karena industri asli lokal masih sedikit, hampir semua jenis mesin harus diimpor. Kelangkaan devisa ini menyebabkan pemerintah harus mengadakan pengawasan ketat atas impor, dan pembatasan ini merupakan kendala serius bagi Indonesia untuk membangun industri-industri. Namun pada tahun-tahun berikutnya pertumbuhan output industri mulai membesar dan pada akhir tahun 1983, output manufaktur tercatat sekitar 7,84 miliar dollar AS. Bahkan, output industri manufaktur tumbuh dengan tingkat yang sangat menakjubkan (apalagi di lihat pada kondisi saat itu) yakni mencapai 13 persen rata-rata per tahun selama dasaewarsa 1970-an, dan ini merupakan salah satu yang tercepat di dunia setelah Korea Selatan dan Singapura (Prawiro, 1998). Hanya pada awal 80-an, pertumbuhan output industri manufaktur sempat merosot sekali pada saat ekonomi Indonesia mengalami suatu resesi akibat anjloknya harga minyak di pasar dunia dan pada saat krisis 1998-1999 (Banerjee, 2002). Pertumbuhan industri manufaktur Indonesia yang pesat itu hampir seluruhnya terjadi di industri modern, yang pada umumnya terdiri atas unit-unit produksi skala besar dengan jumlah pekerja 100 orang atau lebih dan skala menengah yang mengerjakan antara 20 hingga 99 tenaga kerja (Thee, 1988).
BAB III
PEMBAHASAN
III.1 Pengertian Industri di Indonesia
Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi atau barang jadi menjadi barang yang bermutu tinggi dalam penggunannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Dengan demikian, industri merupakan bagian dari proses produksi. Bahan-bahan industri diambil secara langsung maupun tidak langsung, kemudian diolah, sehingga menghasilkan barang yang bernilai lebih bagi masyarakat. Kegiatan proses produksi dalam industri itu disebut dengan perindustrian.
Sebagai negara agraris, peranan industri dalam perekonomian Indonesia dengan sejarah perkembangannya tidaklah begitu amat berarti. Di zaman dahulu, kalaupun beberapa penduduk menggunakan industri kerajinan sebagai salah satu mata pencaharian. Peranannya hanya sekedar untuk tambahan penghasilan atau pekerjaan sambilan. Biasanya malah lebih berupa kerajinan yang bertendensi artistik daripada kewiraswastaan atau lebih berupa aspek kerja budaya daripada komersial.
III.2 Pembagian Industri di Industri
Industri (perindustrian) di Indonesia merupakan salah satu komponen perekonomian yang penting. Perindustrian memungkinkan perekonomian kita berkembang pesat dan semakin baik, sehingga membawa perubahan dalam struktur perekonomian nasional.
Perindustrian dapat dibagi menurut jumlah tenaga kerja, tingkat produksi dan jenis kegiatannya.
Penggolongan industri menurut jumlah tenaga kerja:
- Industri kecil: industri yang menggunakan tenaga kerja kurang dari 10 orang, misalnya industri rumah tangga.
- Industri menengah: industri yang menggunakan tenaga kerja antara 10-50 orang. Modal usahanya sudah besar, misalnya dalam bentuk CV atau PT.
- Industri besar: industri yang menggunakan lebih dari 50 orang, dan antara pemimpin perusahaan dan karyawannya tidak saling mengenal. Modal usaha jauh lebih besar dan penjualan hasil produksinyapun lebih luas.
- Industri berat: penggunaan mesin untuk produksi alat-alat berat
- Industri ringan: penggunaan mesin untuk memproduksi barang jadi
- Industri dasar: industri yang menggunakan mesin-mesin untuk memproduksi bahan baku atau bahan pendukung bagi industri lainnya.
- Industri rumah tangga: industri yang menghasilkan kerajinan tangan
- Aneka industri: industri yang menghasilkan macam-macam barang keperluan masyarakat
- Industri logam dasar: mengolah logam dan produksi dasar
- Industri kimia dasar: mengolah bahan mentah menjadi bahan baku
- Industri kecil: industri dengan jumlah tenaga kerja dan modal sedikit dengan teknologi sederhana
III.3 Perkembangan dan Penerapan Industri di Indonesia
Perkembangan industri melibatkan berbagai penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di Indonesia, kegiatan pembangunan ditunjang oleh tumbuhnya berbagai jenis industri dengan berbagai jenis kegiatan.
Aneka industri
Bidang ini mempunyai peranan yang cukup besar dalam pembangunan industri secara keseluruhan, yakni dapat menjadi penghubung antara industri hulu dan industri hilir. Industri hulu adalah industri yang memproduksi bahan baku dan bahan penolong untuk keperluan industri lainnya. Contohnya: industri besi, baja, pemintalan, dan lain-lain. Sedangkan industri hilir adalah industri yang memakai bahan dasar dari hasil industri hulu untuk memproduksi barang yang siap dipakai konsumen.
Di Indonesia, aneka industri memanfaatkan teknologi yang lebih sederhana dan memperluas kesempatan kerja, sehingga disini dapat menyerap tenaga kerja. Jadi, dengan aneka industri, pembangunan Indonesia dapat maju bahkan berhasil memproduksi barang ekspor.
Industri logam dasar
Perkembangan industri ini berkembang pesat. Kenyataan ini menyebabkan industri dasar mempunyai peran yang cukup besar dalam proses industrialisasi.
Industri non-manufakturing
Industri-industri yang bergerak di bidang ini ialah industri pariwisata, industri pertambangan dan penggalian, serta pertanian, kehutanan dan lain-lain. Dalam hal ini, berarti industri-industri seperti itu juga akan mampu memberikan kontribusi bagi devisa negara. Karena hasilnya pun dapat dijadikan sebagai komoditi ekspor. Oleh karenanya, industri ini menjadi sangat penting, bahkan memiliki peranan yang sangat berarti bagi perekonomian negara. Namun, banyak negara juga tidak memiliki potensi ini. Di Indonesia pertambangan dan pertanian menjadi sub terpenting mengingat mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani (negara agraris). Itulah yang menyebabkan industri di Indonesia semakin beragam.
III.4 Industrialisasi dan Perekonomian Indonesia
Industrialisasi adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi yang merubah sistem pencaharian masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Industrialisasi juga bisa diartikan sebagai suatu keadaan dimana masyarakat berfokus pada ekonomi yang meliputi pekerjaan yang semakin beragam (spesialisasi), gaji, dan penghasilan yang semakin tinggi. Industrialisasi adalah bagian dari prosesmodernisasi dimana perubahan sosial dan perkembangan ekonomi erat hubungannya dengan inovasiteknologi.
Dalam Industrialisasi ada perubahan filosofi manusia dimana manusia merubah pandangan lingkungan sosialnya menjadi lebih kepada rasionalitas (tindakan didasarkan atas pertimbangan, efisiensi, dan perhitungan, tidak lagi mengacu kepada moral, emosi, kebiasaan atau tradisi). Menurut para peniliti ada faktor yang menjadi acuan modernisasi industri dan pengembangan perusahaan. Mulai dari lingkungan politik dan hukum yang menguntungkan untuk dunia industri dan perdagangan, bisa juga dengansumber daya alam yang beragam dan melimpah, dan juga sumber daya manusia yang cenderung rendah biaya, memiliki kemampuan dan bisa beradaptasi dengan pekerjaannya.
Industrialisasi di Indonesia semakin menurun semenjak krisis ekonomi tahun 1998. Kemunduran ini bukanlah berarti Indonesia tidak memiliki modal untuk melakukan investasi pada industri dalam negeri, tetapi lebih kepada penyerapan barang hasil produksi industri dalam negeri. Membuka pasar dalam negeri adalah kunci penting bagi industri Indonesia untuk bisa bangkit lagi karena saat ini pasar Indonesia dikuasai oleh produk produk asing.
Sekarang ini, banyak negara-negara di dunia terus berupaya untuk menumbuhkan ekonominya. Langkah yang diambil yaitu dalam masalah industri. Industri memang menjadi faktor fenomenal untuk menunjang perdagangan. Mereka saling bersaing untuk mendapatkan tempat di pasar global. Karena di dalam pasar global itu sendiri terjadi perdagangan bebas dari dan tentang suatu negara. Salah satu hal yang mendukung ialah sektor industrialisasi.
Globalisasi dirasa lebih menguntungkan negara-negara maju. Karena di negara-negara majulah berbagai bidang termasuk industri mengalami kemajuan, berbeda dengan di negara berkembang. Mungkin dari segi kualitas dan kuantitas hasil produksinya saja jauh lebih baik dari negara maju. Menururt Robert Hutton, ia mengatakan industri ialah bagian terpenting bagi perekonomian di Eropa. Jepang misalnya, produksi otomotif dan elektoniknya mampu menembus pasar dunia, begitu juga Korea dan cina. Mereka berkembang menjadi negara industri.
Dalam perkembangan selanjutnya, negara-negara berkembang mulai mengikutsertakan diri dalam aspek tersebut. Tidak hanya ekonomi yang dibangun dari sektor non industri, tapi mereka telah jauh melangkah mengupayakan tercptanya industri yang fleksibel. Dalam arti mampu meningkatkan daya saing di pasaran. Sehingga negara berkembang pun tidak dengan mudah mengikuti arus global saja. Namun, mereka mampu berkompetisi dengan baik.
Sejauh ini pengembangan sektor industri makin marak, itu sebenarnya tuntutan globalisasi itu sendiri. Di Indonesia, kota-kota industri mulai berkembang dan menghasilkan barang-barang produksi yang bermutu. Namun, ada banyak industri pula di Indonesia yang sebagian sahamnya adalah hasil investasi asing, bahkan ada juga perusahaan dan industri yang secara mutlak berdiri dan beroperasi di Indonesia. Mereka (investor), hanya akan menuai keuntungan dari modal yang ditanamkan.
Untuk itulah, seharusnya bangsa ini lebih dalam untuk meningkatkan sumber daya manusianya. Dengan demikian dapat disimpulkan ilmu pengetahuan dan teknologi ialah sarana dalam mengembangkan SDM termasuk menumbuhkembangkan industrialisasi dan menjalankan perekonomian bangsa dengan baik.
BAB IV
KESIMPULAN
Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi atau barang jadi menjadi barang yang bermutu tinggi dalam penggunannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Dengan demikian, industri merupakan bagian dari proses produksi. Bahan-bahan industri diambil secara langsung maupun tidak langsung, kemudian diolah, sehingga menghasilkan barang yang bernilai lebih bagi masyarakat. Kegiatan proses produksi dalam industri itu disebut dengan perindustrian.
Industrialisasi adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi yang merubah sistem pencaharian masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Industrialisasi juga bisa diartikan sebagai suatu keadaan dimana masyarakat berfokus pada ekonomi yang meliputi pekerjaan yang semakin beragam (spesialisasi), gaji, dan penghasilan yang semakin tinggi. Industrialisasi adalah bagian dari prosesmodernisasi dimana perubahan sosial dan perkembangan ekonomi erat hubungannya dengan inovasiteknologi.
Industrialisasi di Indonesia semakin menurun semenjak krisis ekonomi tahun 1998. Kemunduran ini bukanlah berarti Indonesia tidak memiliki modal untuk melakukan investasi pada industri dalam negeri, tetapi lebih kepada penyerapan barang hasil produksi industri dalam negeri. Membuka pasar dalam negeri adalah kunci penting bagi industri Indonesia untuk bisa bangkit lagi karena saat ini pasar Indonesia dikuasai oleh produk produk asing.
Sekarang ini, banyak negara-negara di dunia terus berupaya untuk menumbuhkan ekonominya. Langkah yang diambil yaitu dalam masalah industri. Industri memang menjadi faktor fenomenal untuk menunjang perdagangan. Mereka saling bersaing untuk mendapatkan tempat di pasar global. Karena di dalam pasar global itu sendiri terjadi perdagangan bebas dari dan tentang suatu negara. Salah satu hal yang mendukung ialah sektor industrialisasi.
Terhitung sejak 1 Januari 2010, Indonesia memasuki sebuah era baru perdagangan bebas yang telah disepakati bersama Cina dan negara-negara Asia Tenggara dalam sebuah pakta perjanjian bernama ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Dengan perjanjian tersebut, semua negara yang terlibat di dalamnya diharuskan membuka pasar dalam negeri dan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi negara lain untuk memasarkan produk-produknya melalui pembebasan bea masuk dan kemudahan regulasi lain.
Pemberlakuan perdagangan bebas dinilai oleh banyak pelaku usaha di Indonesia, baik skala besar, menengah, dan kecil, sebagai sebuah tamparan bagi keberlangsungan usaha mereka. Jika sebelumnya para pelaku usaha itu sudah bersaing mati-matian dengan serbuan produk dari Cina, kini mereka musti berjuang lebih keras lagi untuk bersaing dengan produk-produk dari Singapura, Thailand, Filipina dan negara-negara lain.
Perusahaan kecil dimana manajemen dikelola sendiri oleh pemiliknya, laba mendominasi keputusan hampir seluruh perusahaan. Tidak seperti halnya pada industri besar, manajer mungkin akan lebih memperhatikan pada tujuan penerimaan untuk mencapai pertumbuhan atau memuaskan laba. Demikian halnya seperti pada kegiatan berproduksi bagi usaha kecil, tujuan usaha kecil batik adalah memaksimalkan keuntungan usaha.
Berdasarkan prasurvey terhadap perajin batik di Semarang, pada umumnya mengalami kesulitan dalam memaksimalkan produktivitas. Kesulitan tersebut dikarenakan kurangnya tenaga kerja yang memiliki seni membatik, kurangnya permodalan untuk mengembangkan bahkan untuk membuka usaha batik.
Krisis ekonomi yang dihadapi Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah memporak-porandakan sebagian besar sektor yang sebelumnya sangat diunggulkan sebagai motor penggerak perekonomian Indonesia. Sebagai akibatnya, krisis tersebut telah menimbulkan tiga masalah mendasar. Pertama, krisis tersebut telah membuat perekonomian Indonesia sempat mengalami kontraksi sebesar 13,2% pada tahun 1998 dan diikuti oleh pertumbuhan ekonomi yang lambat. Kedua, sebagai akibat kontraksi dan pertumbuhan lambat tersebut, jumlah pengangguran terus meningkat dan pada tahun 2002 diperkirakan telah mencapai 9,1 juta orang. Selanjutnya, jumlah setengah penganggur dan penganggur terbuka diperkirakan mencapai 39,0 juta orang. Ketiga, krisis tersebut telah membuat semakin memburuknya aspek distribusi atau pemerataan. Situasi tersendatnya pertumbuhan ekonomi, jumlah pengangguran yang masih besar, serta kondisi distribusi pendapatan yang timpang masih mewarnai perekonomian Indonesia untuk beberapa tahun ke depan.
Sebagai akibat dari ketidakstabilan politik di dalam negeri (termasuk beberapa pemberontakan yang terjadi berturut-turut selama periode 1945-1965) dan pengelolaan ekonomi yang jelek oleh Presiden Soekarno, dua dekade pertama dari pembangunan ekonomi Indonesia sejak kemerdekaan tahun 1945 menciptakan kondisi ekonomi dan sosial di dalam negeri yang sangat buruk. Sejak tahun 1950, produksi dan investasi di dalam negeri mengalami stagnasi, atau bahkan menurun drastis dibandingkan pada masa sebelum kemerdekaan, dan pendapatan riil per kapita pada tahun 1966 dibawah tingkat tahun 1938 (Booth dan McCawley, 1981). Pada awal pemerintahan Orde Baru di tahun 1966 yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, rata-rata orang Indonesia berpenghasilan hanya sekitar 50 dollar Amerika Serikat (AS) per tahun; sekitar 60 persen dari anak-anak Indonesia tidak dapat membaca dan menulis; dan mendekati 65 persen dari jumlah populasi di Indonesia hidup dalam kemiskinan absolut.
Untuk itulah, seharusnya bangsa ini lebih dalam untuk meningkatkan sumber daya manusianya. Dengan demikian dapat disimpulkan ilmu pengetahuan dan teknologi ialah sarana dalam mengembangkan SDM termasuk menumbuhkembangkan industrialisasi dan menjalankan perekonomian bangsa dengan baik.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
David Sukardi Kodrat, DAMPAK BUSINESS CYCLE PADA EFISIENSI INDUSTRI PROPERTI YANG GO PUBLIC DI PASAR MODAL INDONESIA, Fakultas Ekonomi Universitas Ciputra, Surabaya
Linda Ariany Mahastanti, PERANAN WANITA PENDAMPING SUAMI MENJALANKAN BISNIS KELUARGA DALAM PENGEMBANGAN BISNIS STUDI INDUSTRI KECIL KERUPUK DI TUNTANG
KABUPATEN SEMARANG, Fakultas Ekonomi, Universitas Kristen Satya Wacana
Hadi Paramu, PENENTUAN SETTING PRIORITAS PENGEMBANGAN INDUSTRI KOPI BIJI DI INDONESIA: APLIKASI MODEL GOAL PROGRAMMING, Fakultas Ekonomi Universitas Jember
Ngatindriatun & Hertiana Ikasari, EFFISIENSI PRODUKSI INDUSTRI SKALA KECIL BATIK SEMARANG: PENDEKATAN FUNGSI PRODUKSI FRONTIER STOKASTIK, Universitas Dian Nuswantoro Semarang
M. Farid Wajdi, DINAMIKA SENTRA INDUSTRI KECIL MENUJU
ERA PERDAGANGAN BEBAS, Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta